Budidaya Lidah Buaya
Siapa yang tidak mengenal lidah buaya (Aloe vera)? Lidah buaya adalah satu jenis tanaman sukulen yang dewasa ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi, bahan kosmetika dan berbagai produk olahan makanan dan minuman. Mengingat begitu banyak manfaat dan khasiat yang terkandung didalamnya, tanaman ini sering dijuluki sebagai “Tanaman Ajaib”, “Tanaman untuk Luka Bakar”, “Tanaman Penyembuh”, “Mutiara Hijau”, atau “Tanaman Keabadian”. Bahkan lidah buaya menjadi salah satu dari 10 jenis tanaman terlaris dan terfavorit di dunia yang dikembangkan secara luas di Amerika Serikat, Meksiko, Karibia, Israel, Australia, Thailand, dan beberapa negara di Eropa.
Tanaman Lidah buaya dibudidayakan secara intensif di Indonesia mulai beberapa tahun yang lalu, utamanya di Pontianak, Kalimantan Barat. Hal ini dilakukan untuk memenuhi pasar dalam negeri dan ekspor terutama ke Jepang. Jepang adalah negara pengguna lidah buaya terbesar di dunia, kebutuhan akan lidah buaya segar tidak kurang 20 kontainer (300 ton) per bulan yang sementara ini banyak dipasok oleh Brazil dan Thailand.
Walaupun dikenal 350 jenis Aloe, hanya lima jenis yang diusahakan secara komersial, yaitu Aloe vera (Aloe barbadensis Miller atau Caracao aloe), Aloe perryi, Aloe ferox, Aloe Arborescens dan Aloe Saponaria. Dari kelima jenis Aloe tersebut, hanya Aloe vera yang paling berpotensi dikembangkan guna memenuhi kebutuhan industri farmasi, pangan dan kosmetika.
Tanaman ini mudah diperbanyak dan relatif tidak menuntut pemeliharaan intensif baik di lahan pekarangan, dalam pot atau polibag. Lidah buaya dapat tumbuh mulai di daerah dataran rendah sampai pegunungan. Untuk berproduksi secara optimal, lidah buaya menghendaki ketinggian 200 – 700 m dpl. dengan jenis tanah aluvial, latosol, podsolik, andosol, atau regosol dengan drainase yang cukup baik. Di daerah yang bersuhu antara 16oC – 33oC , lidah buaya dapat tumbuh baik dengan curah hujan 1.000 – 3.000 mm kubik per tahun dan musim kering agak panjang.
Budidaya lidah buaya sebaiknya dilakukan secara organik (dengan pupuk kandang dan tanpa pestisida) serta menjaga sanitasi lingkungan dan pemeliharaan lainnya yang intensif. Apalagi, tanaman ini relatif sedikit hama dan penyakit yang mengganggunya, maka besar kemungkinan produktivitasnya akan tinggi. Dengan asumsi penanaman lidah buaya dilakukan secara intensif, berat panenan setiap pelepah bisa mencapai 0,8 – 1 kg dan populasi per hektar mencapai 7.000-10.000 tanaman. Dengan demikian, 1 ha lahan dapat menghasilkan 5,6 -10 ton berat basah. Di pasaran, harga pelepah segar Rp 1.300 per kg dan biasanya dijual dalam bentuk cendol lidah buaya untuk dikonsumsi. Produk olahan berupa minuman sari lidah buaya biasanya dijual dengan harga Rp 1.500 – 2.000 per gelas (cup).
Sebanyak 95% lidah buaya mengandung air, sisanya adalah bahan aktif (active ingredients) seperti: minyak esensial, asam amino, mineral, vitamin, enzim dan glikoprotein. Lidah buaya mengandung cairan bening seperti jeli dan cairan berwarna kekuningan yang mengandung aloin. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam tanaman ini adalah barbaolin, isobarbaloin, aloe-imodin, aloenin dan aloesin yang mengandung antibiotik. Efek farmakologis lidah buaya diantaranya adalah obat luka bakar, pencahar (laxatic), parasiticide dan memperbaiki pancreas. Juga, tanaman ini sebagai obat sakit kepala, pusing, sembelit (constipation), kejang pada anak, kurang gizi (malnutrition), batuk rejan (pertussis), muntah darah, kencing manis, wasir, dan meluruhkan haid. Dan tak kalah pentingnya, lidah buaya dapat dijadikan sebagai obat alamiah untuk penderita HIV/AIDS karena kandungan polisakarida dan acelated mannose.
Daun lidah buaya digunakan sebagai dasar kosmetika karena mengandung Zn, K, Fe, Vitamin A, asam folat dan kholin. Gel/lendir lidah buaya mengandung vitamin B1, B2, B6, B12, C, E, inositol dan asam folat. Kandungan mineral lidah buaya antara lain adalah kalsium, fosfor, besi, sodium, magnesium, mangan, tembaga dan chromium dan zinc, sedangkan enzim yang terkandung adalah amylase, catalase, cellulose, carboxypeptidase, carboxyhelolase, phophatase, lipase, catalase, creatine phoshokinase, nucelotidase, alkaline, proteolytase, dan lain-lain.
Namun, apabila digunakan dalam jangka waktu yang sangat lama, lidah buaya berakibat efek samping, misalnya: urine berwarna merah muda (pink) atau merah, dan kerusakan pada ginjal atau diare yang akut, atau jantung berdebar karena kurangnya kadar potasium dalam darah. Oleh karena itu, dianjurkan untuk berhenti mengkonsumsi lidah buaya dan segera berkonsultasi dengan dokter!
Disamping itu, perlu kehati-hatian dalam mengkonsumsi lidah buaya utamanya bagi: anak-anak dibawah usia 12 tahun, wanita hamil atau merencanakan kehamilan, wanita yang sedang haid dengan pengeluaran darah yang banyak, ibu sedang menyusui. Orang yang mengalami gangguan pada perut dan usus, orang yang mengkonsumsi obat-obatan dari jenis licorine, diuretik, atau kortikosteroid, pengidap penyakit Crohn’s, orang yang mengkonsumsi obat antiarrythimic, dan orang yang setelah operasi laparotomy.
Di negara Hongkong, Taiwan dan Cina, mengkonsumsi lidah buaya sudah membudaya. Masyarakat di sana mengkonsumsi lidah buaya dalam bentuk juice, manisan bahkan dicampur dengan teh. Jika ingin lebih kreatif, daging lidah buaya sebenarnya lezat untuk dijadikan beragam masakan. Produk olahan lidah buaya antara lain: nata the aloe, krupuk, instant lidah buaya, sirup, dodol, selai, tepung, aloe leather dan koktail sampai Aloe vera gel. Karena teksturnya kenyal dengan rasanya menyegarkan, lidah buaya juga cocok untuk campuran salad dan tumisan.
Melihat berbagai peluang usaha tersebut, baik sebagai bahan baku maupun olahan, lidah buaya menjadi salah satu lahan bisnis domestik maupun ekspor yang sangat menggiurkan. Apalagi, negara kita masih sebagai pengimpor lidah buaya seperti untuk industri sabun, sampho, tepung aloe, dan sari aloe, serta olahan lainnya.
Sumber : http://bengkeltip.wordpress.com/
0 comments:
Post a Comment